Tinggal hitungan bulan, tahun ajaran baru pendidikan akan
tiba. Walau tahun ajaran baru masih lima bulan lagi, banyak sekolah yang sudah
membuka pendaftaran siswa baru, bahkan ada sekolah yang sudah tutup tidak
membuka penerimaan siswa baru lagi, karena sejak Desember tahun lalu sudah
membuka pendaftaran. Tak terkecuali para orang tua yang memiliki anak usia
masuk sekolah baik SD/SMP/SMA, pun ikut merasakan pusing menentukan sekolah
yang bisa memberikan bekal kepada anaknya, tentunya dengan biaya yang ramah
dengan keuangan keluarga.
saya teringat beberapa pekan lalu, percakapan saya dengan
driver taxi, sebuta saja namanya Arif. kami bercerita banyak hal tentang
pendidikan, hingga mengerucut ke cerita anaknya, beliau menceritakan anaknya
yang bersekolah di salah satu Sekolah Negeri di daerah pinggiran Jakarta,
beliau sangat prihatin, sekolah tersebut hanya menggunakan LKS saja sebagai
sumber belajar siswa, dengan ukuran buku yang tipis, dan kualitas yang belum
terjamin sebagai sumber ilmu untuk siswa tersebut. Keprihatinan itu hingga
akhirnya, membuat Pak Driver itu, mengambil inisiatif untuk memberikan
‘suplemen’ bagi kualitas pendidikan anaknya dengan memasukkannya ke tempat
bimbingan belajar. Tentu, lebih mahal dari biaya sekolah formalnya. Tak apa
makan nasi pakai garam saja, yang penting anak mendapatkan haknya yang bagus,
ujarnya.
Pa Arif mungkin sebagaian kecil dari orang tua yang aware dengan pentingnya pendidikan, rela
mengorbankan biaya lagi walau lebih mahal, yang menurutnya untuk menambal
kekurangan dari fenomena pendidikan gratis. Namun, orang seperti Pak Arif ini
jumlahnya kecil, lebih banyak orangtua yang memang kurang aware, bisa jadi memang karena tidak punya kemampuan lagi, sehingga
akhirnya secara total dan kepercayaan yang penuh menitipkan anaknya di sekolah.
Cerita ini, barangkali pernah kita dengar dari teman atau
tetangga kita, sekolah gratis kualitas ga bagus. Saya juga pernah dengar
langsung dari rekan saya sewaktu saya menjadi guru, ketika ada orang tua yang komplain
dengan pelayanan sekolah, salah satu guru dengan gampang berseloroh; sekolah
gratis, banyak maunya. Saya hanya tertawa mendengarnya.
Pertanyaannya, Benarkah sekolah itu gratis?.
Pada dasarnya, di dunia ini tidak ada yang gratis, hal remeh
sekarang saja sudah dipatok Rp. 2000 kalau kita berkunjung ke Toilet Umum.
Apalagi untuk hal besar yang mempertaruhkan keberlangsungan negara ini kelak,
tentu membutuhkan biaya yang besar, dan negaralah yang memikul biaya pendidikan
di Indonesia, agar semua lapisan masyarakat bisa merasakan pendidikan yang
layak.
Tahun 2014 anggaran pendidikan
mencapai Rp.
371,2 triliun Itu berarti pada 2014 anggaran pendidikan mengalami kenaikan 7,5%
dari APBN 2013 yang “hanya” Rp. 345,3 triliun. Fantastis bukan?
Bandingkan
dengan sebelum reformasi tahun 1997/1998 anggaran pendidikan dan kebudayaan hanya
4.6 triliun, dan bandingkan juga anggran pendidikan saat ini dengan anggaran
departemen lain angka ini sangat fantastis.
Sejatinya, sudah
tidak ada istilah Gratis yang keluar dari seorang pendidik jika melihat angka
diatas. Dan 65 % dialokasikan untuk gaji guru loh. Apalagi hingga menurukan
kualitas pendidikan yang seharusnya diterima oleh anak bangsa. Guru merupakan
garda terdepan dalam perubahan bangsa ini, kelas ajar mereka adalah tempat tunas
bangsa ini ditumbuhkembangkan. Jika dikelas ajar berjumlah 40 siswa, maka bukan
mustahil akan lahir putra terbaik bangsa di kelas tersebut, jika dikelola
dengan baik tentunya. Namun jika kelas ajar tersebut dikelola dengan asal-asalan,
ala kadarnya, sama saja telah mematikan potensi bangsa. Ini baru satu kelas,
bagaimana kalau satu sekolah, bagaimana jika banyak sekolah yang seperti ini,
berapa banyak potensi bangsa yang gagal dalam timbuhkembang potensinya?
Mudah-mudahan
masih banyak guru di tanah air ini, yang masih memegang amanah untuk mendidik
putra bangsa ini denga serius, demi kemajuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar